Sabtu, 14 Juni 2025

Nempel. Tempel. Hmmm

By. Achmad Arafat

Tempel, nempel.menempel apa dan siapa sih si tempel ini? Tempel. Nempel. Menempel. Siapa, dan kenapa dia begitu penting? "Nempel" itu bukan sekadar soal melekat—ia adalah syarat dasar eksistensi. Tanpa “Nempel”, daging tak berpaut pada tulang. Tanpa menempel, rambut hanya seutas helai yang akan gugur. Bahkan dalam level lebih abstrak: tanpa keterikatan, tidak ada identitas, tidak ada tubuh, tidak ada hidup. Dan ini bagian dari yang aku bikin senyum-senyum sendiri.  “Jadi siapa itu si Tempel?” Hahaha, ini bukan tulisan ngawur, ini pencarian—dan si Tempel ternyata bukan tokoh, tapi konsep. Ia bisa jadi lambang dari kebutuhan untuk bersatu, agar segala sesuatu bisa menjadi sesuatu. Bahkan dalam relasi antar manusia, kita pun selalu mencari tempat ‘nempel’—baik secara emosional, intelektual, maupun spiritual.

Jasad nempel ke ruh. Bukan sekadar daging ke tulang. Tapi antara yang tampak dan yang tak kasat.
Tubuh bisa hidup karena ada sesuatu yang tak bisa disentuh—yang menempel tapi tak pernah bisa dipegang.
Kenangan pun begitu... menempel di kepala, tapi juga di dada. Seolah waktu punya lemnya sendiri.
Bahkan luka...
Ia nempel bukan cuma di kulit, tapi di cara seseorang tersenyum setelahnya.

Kadang aku mikir, hidup ini jangan-jangan cuma perkara siapa nempel ke siapa duluan.
Dan kalau semua elemen bisa terpisah, mungkin satu-satunya yang bikin kita masih bisa disebut ada,
adalah karena kita belum lepas dari lem rahasia yang namanya "rasa ingin tetap bersama."

Si Tempel... mungkin bukan makhluk. Mungkin dia itu rindu. Atau takut. Atau cinta.
Yang bikin kita terus nempel, bahkan ketika seharusnya sudah bisa lepas.


Dan mungkin memang benar, kehidupan itu sendiri hanya bisa lahir ketika satu hal nempel ke yang lain. Waktu nempel ke ruang, jadilah peristiwa. Kata nempel ke makna, lahirlah bahasa. Nafas nempel ke jasad, jadilah hidup. Luka nempel ke ingatan, jadilah puisi.Kebutuhan hidup tak terpenuhi jadilah hutang. Wkwkw

Tanpa tempel, tak ada keterhubungan. Tanpa keterhubungan, tak ada kesadaran. Maka empel/nempel adalah akar dari segalanya—ia bukan hanya proses, tapi prinsip. Tanpa dia, partikel cuma beterbangan. Tidak ada gravitasi, tidak ada cinta, tidak ada “aku dan kamu”.

Jadi... jangan-jangan “nempel” adalah hukum alam paling awal. Lebih awal dari logika. Lebih purba dari cahaya.
Mungkin kalau jagat raya ini dibuat dari kata—maka sebelum ada jadilah terang, sudah ada satu suara yang berkata:
“Tempelkan.”


Dan mungkin... sebelum cahaya diciptakan,
ada bisikan sunyi yang berkata: “Tempelkan.”
Lalu semesta mulai nempel satu sama lain,
hingga jadi waktu, ruang, perasaan... dan kita.

Jangan remehkan kata ini, Sob.
Karena Si Tempel bukan sekadar kata kerja. Dia ideologi. Dia hukum alam. Dia perjodohan partikel.
Mungkin dia cinta itu sendiri.
Atau bisa juga... cuma alasan agar aku tetap nempel di ingatanmu, walau tanpa alasan yang bisa dijelaskan.

Nempel. Tempel. Hmmm

By. Achmad Arafat Tempel, nempel.menempel apa dan siapa sih si tempel ini? Tempel. Nempel. Menempel. Siapa, dan kenapa dia begitu penting? ...